Laman

Mengenai Saya

Sabtu, 12 November 2011

Asumsi Kolot Menjadikannya Partnerku


Karya : Nur Fitriani
     “orang itu mencuri ideku”,aku menunjuk sosok lelaki yang berdiri tegap di depanku dengan gulungan kertas yang dibawanya.
     “hei !”,teriakku.
      Dia terus berjalan lurus, sementara aku tetap membuntutinya sambil teriak hingga aku berhasil menepuk bahunya.
     “ada apa ?”,tanyanya sambil melepas earphone ditelinganya.
     “kak Edo ?”, mataku terbelalak ketika mengetahui bahwa di adalah kak Edo.
     Perlu diketahui bahwa Edo adalah orang paling pelit member senyuman, sekaligus merupakan murid terfavorit di sekolahku. Aku jadi tak tega jika harus memarahinya. Tak tega melihat wajahnya menjadi padam. Dan aku takut kalau dia balik membentakku. Tapi kuberanikan diri untuk menjelaskan dengan santai.
     “em,em,, itu gulungan apa?”, tanyaku sambil menunjuk gulungan kertas yang dibawanya.
     “ooh,,ini. Puisi “,jawabnya santai.
     “boleh aku lihat?”
     “sure”,dia memberikan gulungan kertas itu.
     Tak salah lagi. Ini puisi yang aku print tadi malam. Ternyata dia pencurinya. Tanpa bertanya panjang lebar,emosiku terpancing dan aku pun membentaknya.
     “oh, jadi kakak yang mencurinya. Ini aku buat dengan susah payah. Aku ngumpulin kosa kata sulit selama satu minggu penuh. Dan seharusnya tadi aku sudah mengantarkan puisi itu ke dewan juri. Sekarang itu Cuma mimpi ! gak bakal jadi nyata Cuma karena ulah murid TERFAVORIT ini. Gak tahu malu !”
     “te,,,tapi”,Edo berusaha membantah.
     “udah deh kak,jangan piker kalo aku bakalan percaya sama kakak. Terfavorit kok kelakuannya seperti ini. Cakep-cakep pencuri. Menyembunyikan kedok dibalik ketenaran”,ucapku sambil membalikkan badan dan pergi membawa puisiku.
     “Edo, kursi juri udah terisi, tinggal kursi kamu tuh yang masih kosong. Buruan gih “
     Suara itu membuatku menghentikan langkahku.
     “apa ? Edo jurinya ? jadi, aku salah paham ? mapus dah. Kak !”,aku membalikkan badan berupaya memanggilnya sambil mengulurkan tanganku. Ternya dia sudah beranjak pergi.
     Aku hanya bersikap pura-pura tak tahu akan hal ini. Dari tadi aku hanya memperhatikan peserta yang membacakan puisi mereka di depan juri, di depan Edo tentunya.
     “satu lagi karya yang belum dibacakan”,ucap Edo. Sedangkan juri lain bingung karena tak ada lembaran puisi di meja juri.
     “tadi,tak sengaja kertas itu hilang. Puisi karya Risella Michel”,ucapnya santai.
     “apa? Namaku disebutnya.aku harus maju”,batinku.
     Kali ini aku benar-benar gugup. Aku bisa merasakan suara jarum jam berdetak kencang seperti detak jantungku saat ini. Sementara peserta lain menantiku membacakan puisiku sambil memberikan tatapan tajam yang melebihi para juri tajamnya. Hanya Edo yang tersenyum.
     Aku telah berada diatas panggung pentas. Rasanya tak seperti yang pernah terfikir olehku. Baru me,baca judul puisi saja,badanku sudah gemetar. Penonton yang ada disekitarku tetap menatapku dingin.
    “pencarian sinar, karya Risella Michel”
     Huh,baru membaca itu saja aku sudah gugup. Semakin kurasakan detak jantungku berdegup kencang melebihi detak jam dinding di depanku. Kutarik napas dalam-dalam dan mulai membaca bait demi bait puisiku.
Lentera itu telah padam
Ruang itu gelap
Tak ada secercah cahaya dalamnya
Sepercik sinar pun enggan masuk dalamnya
    Angin itu sepoi menghembus
     Dedaunan layu jatuh
Terkulai bersama ilalang yang menguning
Percarian sinar itu sia-sia”,aku menundukkan badan dan barulah aku bisa menghirup udara dengan lega.
     Tepuk tangan beserta sorak-sorai seisi teater membuatku semakin lega hingga aku tersenyum puas. Tampaknya semua menyukai puisiku.
     Selepas membuang cemas,aku pergi mencari makanan di depan. Kebetulan ada bakso. Aku terkejut ketika melihat sosok yang tegap sambil tersenyum padaku. Itu Edo. Bukankah tadi dia masih menjadi juri disana ? kok disini ?
     “hai”,sapanya.
     “hai”,jawabku.
     “ini puisimu”,ucapnya sambil memberikan gulungan kertas potocopian puisiku.
     Aku jadi semakin bingung. Tadi dia bilang hilang,sekarang malah dibalikin. Ini mimpi atau gak sih ? aku mencubit tanganku sendiri untuk memastikan ini nyata.
     “aw”,teriakku.
     “eh,kenapa kamu ?”,ucapnya sembari tegak menghampiriku.
     “oh, nggak, nggak apa-apa”
     Ternyata ini nyata. Aku ha,pir saja meragukan dunia nyataku. Barusan dia menjadi juri, sekarang dia disini. Aku benar-benar nyaris tak bisa membedakan antara mimpi dan nyata saat ini. Yang menjadi masalah saat ini adalah perutku. Perutku mulai bernyanyi, cacing di dalamnya sudah meronta minta makan. Maklum ! dari pagi belum makan.
     “mang, bakso satu”, aku memesan semangkuk bakso dan Edo kembali duduk di kursi tempatnya makan tadi.
     Aku masih merasa aneh. Sebenarnya Edo ini apa sih? Manusia atau vampire ?
     “ini neng baksonya”, suara itu memecahkan lamunanku.
     “eh,iya mang”,jawabku.
     Aku langsung buru-buru menghabiskan semangkuk bakso itu dan memastikan kebenaran siapa sesungguhnya Edo.
     “sabar aja makannya, nanti tersedak lo”, ucap Edo melihatku makan seperti orang kelaparan.
     “uhuk-uhuk”,aku tersedak.
     “tuh kan, udah dibilangin juga”,ucapnya.
     Aku tak menghiraukan ucapannya. Aku tetap memakan bakso itu sampai habis dengan lahapku dan langsung kembali ke tempat dimana pertunjukan berlangsung.. sedangkan Edo belum selesai makan.
     Walaupun pengumuman masih satu jam lagi, para kontestan tetap menunggu disana. Dan di kursi juri,,, Edo. Ha ? edo? Aku terbelalak  memastikannya.
     “bukannya tadi dia ada di depan ?”, aku bingung dengan manusia satu ini ,”bererti feelingku benar. Dia itu bukan manusia. Tak mungkin manusia bisa berpindah tempat secepat itu. Dia pasti vampire”.
     Aku yakin bahwa asumsiku kali ini benar. Aku penasaran akan hal ini dan akhirnya aku memutuskan untuk menyelidikinya. Memang konyol rasanya kalau disekolahku ada pelajar yang ternyata vampire. Kesannya seperti Edward Cullen di film Twiligt. Tapi, ya bagaimana lagi.
     Sambil duduk menunggu hasil penilaian, aku memikirkan untuk menyelidikinya. Mengernyitkan dahi,memangdang lurus kea rah kursi juri itu, dan mulai berfikir sambil mengaktifkan dunia imajinasiku. Pasti aku akn terkenal jika bisa memastikan kebenaran ini.
     “tes, satu, dua, tiga. ,oke sekarang adalah saatnya pengumuman hasil puisi”, suara itu memecahkan dunia imajinasiku.
     Kini jantungku berdetak lebih cepat. Rasa was-was memenuhi benakku. Keringatku mulai mengalir dari pori-pori pelipisku. Dag… dig… dug… sekarang adalah pengumuman juara satu. Juara dua dan tiga bukanlah aku. Aku semakin was-was sehingga aku bisa mendengar detak jantungku.
     “juara pertama adalah….”, pembawa acara mulai menyerukan kembali suara cemprengnya.
     Tanganku mulai berpelukan sebagai tanda kecemasannya. Dan mataku sampai tak berkedip. Telingaku siap siaga mendengar. Dan napasku terhenti sejenak.
     “adalah…Ririlia”, ucapku pembawa acara itu.
     Ternyata bukan aku pemenangnya. Kelopak mataku yang tadinya berjauhan kini mulai berdekatan lagi. Aku hanya bisa pulang kerumah dan mengoreksi kesalahan karena aku tak akan jatuh ke lubang yang sama. Sepanjang malam, aku mengkaji puisi yang aku buat.
     “perasaan gak ada yang salah”, ucapku.
     “dan ini bagus kok”, tambahku membela puisiku.
     Hari menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kali ini aku teringat sesuatu dan kembali membuat asumsi.
     “ooo, aku tahu. Edo adalah vampire dan dia bisa membaca fikiranku. Dia tahu kalau aku mengetahui siapa dia sebenarnya, sehingga dia dendam dan tidak memenangkan puisiku.”
     “ya, tepat, itulah alasannya kenapa tidak menang”, tambahku.
     Memang asumsiku ini kolot. Namun, seperti itulah kenyataanya. Tak peduli dengan Edo, aku pun tidur dengan pulasku.
     Pagi ini alarmku tak bunyi seperti biasanya. Hari ini matahari mendahuluiku. Dapat dipastikan aku kesiangan hari ini. Buru-buru mandi, nyusun buku, sisiran, rapiin pakaian, sarapan, pakai sepatu. Semua serba buru-buru dan alhasil aku terlambat kesekolah dan harus menunggu jam pelajaran pertama selesai, barulah boleh aku masuk. Gerbang sekolah dikunci rapat dan satpam selalu mengawasiku sehingga tak ada celah untuk aku masuk lewat jalan belakang. Dan di momen yang sma, Edo juga terlambat.
     “kak Edo ?”, kataku.
     “hai “, sapanya dengan santai.
     “puisi kamu bagus, tapi yang buat kamu kalah itu pembawaan kamu yang gugup”, tambahnya.
     “oh, bilang saja kamu dendam”, batinku.”eh, iya kak”, jawabku.
     “kemarin kakakku cerita, dia lihat kamu”,ucapnya.
     “ha ? aku ? dimana ?”,tanyaku bingung.
     “waktu makan bakso”
     “lho ! kemaren ka nada kak Edo, kok gak kasih tahu kalau ada kakaknya sih.”
     “ha ? aku ? aku kemarin jadi juri seharian, mana bisa keluar”, jawabannya semakin mebuat aku bingung.
     Lantas kemaren itu siapa ? jelas itu Edo. Atau dia sengaja membuatku bingung ? ah, kenapa aku bingung.
     “kemarin itu Adi !”, ucapnya menghentikan lamunanku.
     “bukan, itu kak Edo”, bantahku.
     “Adi itu kembaranku, dia udah kuliah”, terangnya.
     Ya ampun, kemana saja kau selama ini. Bahkan aku tak tahu kalau kakak terfavorit ini punya kembaran.
     “oh, pantas saja aku melihat kakak dimana-mana, ternyata itu Adi”, ucapku lega. Akhirnya asumsi kolotku itu salah.
     “hahahaaha” tawanya pecah mendengarkanku.
     “kok dia sudah kuliah”, tanyaku heran,”umur kalian sama kan?”
     “iya. Dia masuk akselarasi waktu SMP”, jelasnya.
     Untung saja aku belum terjebak ke asumsi ini. Dan semua masalahnya clear sekarang.
     “hei !” panggil Edo saat aku mulai masuk gerbang dengan buru-buru.
     “ya kak?”, aku membalikkan badanku.
     “aku juga suka nulis, mau jadi partner?”, tanyanya sambil mengerlingkan matan kanannya.
     Aku pun sontak terkejut. Seorang Edo, memberiku kesempatan menjadi partnernya? Aku langsung menjawab dengan parstim “ya, aku mau !”
     “oke”, ucapnya sambil tersenyum.
     Tak disangka asumsiku itu berakhir seperti ini. Sekarang Edo adalah partnerku menulis. Aku banyak menghabiskan waktu bersamanya. Kami sangat terobsesi dengan bintang. Karena kami sama-sama ingin memiliki sinarnya suatu saat nanti dibidang kami ini walaupun ini hanya sekedar sebuah hobby. Kami banyak menciptakan cerpen-cerpen yang kami temple di madding sekolah. Pernah juga kami ikutkan dalam perlombaan dan menang. Hingga akhirnya Edo tamat SMA.
     Saat perpisahan murid kelas XII, saat itu pula launching kumpulan cerpen kami yang dibukukan oleh penerbit ternama. Pelukan hangat terakhir sebelum Edo memasuki universitas impiannya di luar pulau ini pun masih terasa hangatnya. Dan kertas dimana kami menuangkan inspirasi akan tetap aku simpan.
     “kak Edo partner hebat !” itu kalimat terakhir yang langsung kuucapkan.
     “kamu juga. Sekarang kita sudah mendapat sedikit percikan sinar bintang itu, terusla kau kejar sinarnya”, kata-kata itu selalu menjadi motivator untukku.
     Semua berkat asumsi kolotku. Menjadikannya partnerku dan menjadikan impianku untuk menerbitkan sebuah buku tercapai. Itulah percikan bintang yang kami peroleh. Ditambah lagi dengan gelar best seller dibuku itu. Menambah percikan bintang yang kami peroleh. Aku bangga mendapat partner seperti dia !

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar